Friday, February 18, 2011

Kita Miskin Karena Miskin



Arab Saudi stop Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kabar itu mengejutkan. Sebab dari warta itu terbayang membludaknya pengangguran, tambahnya penduduk miskin. Kriminalitas, bunuh diri, serta aksi terorisme pun punya peluang berbiak. Kapan negara mampu memberi lapangan kerja bagi saudara-saudara kita itu?

Terus terang kabar itu menyesakkan dada sebagian pencari kerja dari Jawa. Sebab sejuta TKI pengadu nasib di Arab Saudi yang terombang-ambing dalam keresahan itu memang mayoritas berasal dari pulau ini. Balik pulang tidak jelas mau kerja apa. Tetap bertahan nasibnya tergantung di ranting rapuh. Kendati Arab Saudi secara resmi menyebut itu bukan kebijakan pemerintah.

Dalam pandangan klasik, orang Jawa itu nrimo ing pandum. Menerima apa yang diberikan Gusti Allah. Mereka tahan menderita, tenang dihimpit kemiskinan, dan tabah dalam ketidak-berdayaan. Pameo mangan ora mangan asal kumpul. Makan tidak makan asal kumpul pas sebagai atribut.

Namun puluhan tahun lalu saat masih hidup di desa saya dibuat tertegun dengan para tetangga saya. Semua lelaki bertaburan meninggalkan kampung. Mereka ada yang ke Malaysia, Arab Saudi, bahkan tidak sedikit yang ke Amerika Serikat. Desa tinggal dihuni anak-anak, para istri, dan perangkat desa.

Keterkejutan itu memunculkan kejutan puluhan tahun berikutnya. Rumah reyot dari bambu hilang dari pandangan, berganti rumah tembok full keramik. Isi rumah dipenuhi perabot mewah . Dan mobil atau motor tidak sulit ditemukan parkir di depan rumah.
Kemakmuran itu, terus terang, berkat nekad sebagai tenaga kerja di negara lain. Disebut nekad, karena mereka tidak mengerti apa itu paspor, apalagi visa. Yang di Malaysia jadi buruan polisi dan 'dipermurah' tenaganya oleh para tekong. Yang di Amerika 'dirawat negara' karena alasan sama, itu adalah tetangga saya. Termasuk Amrozi almarhum. Tapi begitu, saat pulang dia masih punya sisa uang yang cukup lumayan.

Sekarang, mereka banyak yang sudah punya izin tinggal. Ada yang menjadi warga negara setempat, punya usaha, dan berpenghasilan tak terbayangkan seandainya tetap hidup di desa. Wargaku, tetanggaku, yang tek-iyek (asli) Lamongan itu kini kalau pulang ke desa adalah klangenan. Nostalgia melihat potret kemiskinan masa lalu. Keguyuban memang cermin hidup di pedesaan. Pertemanan dan kekeluargaan lekat satu sama lain. Kalaulah mereka kemudian kabur meninggalkan kampung halaman pun rela menjadi warga negara di luar Indonesia, itu karena terpaksa. Dia dipaksa keadaan. Daerah Lamongan yang terbanyak menjadi TKI juga karena alasan sama.

Daerah ini sangat miskin. Kemiskinan itu tergambar dalam rangkaian kata 'rendeng gak iso ndodok, ketigo gak iso cewok'. Musim hujan tidak bisa duduk karena dimana-mana banjir. Dan musim panas tidak ada air, bahkan hanya sekadar untuk cebok. Ini penyulut revolusi 'tak penting kumpul, yang penting bisa makan' menjadi ikon. Pemerintah dari tahun ke tahun selalu bilang ekonomi membaik dan kemiskinan menurun. Angka yang 'debatable' itu selalu dijadikan indikator kesuksesan. Tapi coba lihat asal uang yang masuk untuk membiayai negara ini (APBN). Dari sana  tampak, rasanya pemerintah gagal memberi pekerjaan dan salah menjalankan roda kebijakan.

Mungkin ekonomi membaik, tetapi ekonomi siapa? Mungkin kemiskinan turun, itu jika terus digenjot 'ekspor orang miskin' berlipat-lipat ke berbagai negara di dunia tanpa perlindungan, tanpa perduli kesakitan dan nistanya sebuah negara. Untuk itu saya tabik pada para TKI, legal atau ilegal. Sebab mereka lebih punya inisiatif dibanding negara yang belum punya inisiatif untuk memberi pekerjaan, apalagi kesejahteraan bagi rakyatnya.

Biarlah pemerintah terus asyik dengan kebijakan pro growth, pertumbuhan yang menciptakan konglomerasi dan membuang rakyat miskin penghuni mayoritas negeri ini. Sebab seperti kata Ragnar Nurkse, teoritikus kemiskinan itu, sebuah negara itu miskin, karena dia memang miskin. Miskin harta, miskin otak, dan miskin ide. Adakah benar kita miskin?
 
Djoko Suud Sukahar 
Pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

Sumber: detik.com

No comments:

Post a Comment