Tuesday, April 5, 2011
Sembilan Tahun Umar Patek Disembunyikan CIA?
Belum tuntas masalah isu dan penanganan teror bom buku dan teror bingkisan, kita dikejutkan dengan penangkapan gembong teroris Umar Patek di Pakistan. Umar Patek adalah aktor Bom Bali I pada tahun 2002, di mana akibat aksi terornya mengakibatakan 202 orang, 88 diantaranya warga Australia, tewas.
Ditangkapnya Umar Patek di satu sisi membuat banyak orang senang, sebab jaring-jaring terorisme semakin putus dan habis. Namun di sisi lain, tertangkapnya Umar Patek membuat beberapa pihak merasa takut dan jiwanya terancam, pasalnya penangkapan itu akan membuat aksi balas dendam.
Sehingga membuat pemerintah Australia memperingatkan kepada warganya bila hendak berkunjung ke Indonesia. Secara resmi di dalam websitenya, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengatakan bahwa warga Australia harus mempertimbangkan kembali perjalanan ke Indonesia, khususnya Bali.
Rangkaian terorisme dari bom buku hingga tertangkapnya Umar Patek menunjukan bahwa aksi terorisme di Indonesia belum habis dan tuntas penanganannya, meski gembong-gembongnya seperti Dr. Azhari, Dulmatin, Nordin M. Top, Trio Bom Bali I, sudah diekskusi oleh aparat keamanan.
Dengan tertangkapnya Umar Patek berarti menunjukan selama ini geliat teroris sepertinya tidak pernah berhenti. Terorisme seolah-olah silih berganti muncul. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Faktornya. 'Pertama', kerja aparat keamanan dalam menangani terorisme kalau tidak kalah dengan kelihaian para teroris, ya mereka tidak serius untuk memberantas aksi-aksi para terorisme.
Misalnya, sampai saat ini aparat belum berhasil mengurai siapa sesungguhnya pelaku dari aksi bom buku. Apa motif dan tujuannya belum terungkap jelas. Karena aparat belum bisa mengurai dengan cepat, maka masyarakat mengambil kesimpulan tersendiri mengenai peristiwa itu. Misalnya, Farhat Abbas dan LSM Hajar melaporkan Dhani ke pihak kepolisian, beberapa waktu yang lalu, sebab paket bom tersebut adalah bohong alias sensasi liar yang diciptakan Ahmad Dhani sendiri.
Kemudian rentang waktu tertangkapnya Umar Patek memerlukan waktu yang sangat lama, yakni 9 tahun. Menjadi pertanyaan ke mana saja aparat keamanan selama ini? Menangkap Umar Patek adalah bukan hal yang sulit, sebab bila aparat keamanan Indonesia serius, pasti dibantu oleh aparat keamanan negara lain.
Soal bantuan dari negara lain itu contohnya, selepas Bom Bali I, polisi dan TNI sering melakukan latihan antiteror dan kerjasama penanggulangan antiteror dengan berbagai negara dan dengan biaya yang sangat besar. Misalnya saja kerjasama penanganan terorisme antara Indonesia dan Amerika Serikat yang dijalin sejak tahun 2005 sampai September 2008 dengan biaya bantuan Amerika Serikat sebesar US$400.000.
Menangkap Umar Patek sebenarnya sesuatu yang menggiurkan, sebab Pemerintah Amerika Serikat, yang warganya juga menjadi korban dalam Bom Bali I, memberikan hadiah sebesar US$1 juta bagi yang berhasil menangkap Umar Patek. Hadiah tersebut tentu lebih besar daripada bantuan biasa yang diberikan Amerika Serikat. Dan hadiah itu tentu bisa digunakan untuk lebih memantapkan kinerja aparat keamanan. Mengapa hal demikian tidak dilakukan oleh aparat Indonesia?
Sebab yang memangkap Umar Patek adalah aparat 'Pakistan State Intelligence Service', maka maka aparat negara itulah yang berhak mendapat hadiah sebesar US$1 juta. Dengan hadiah sebesar itulah, bisa jadi aparat keamanan Pakistan mampu membangun kekuatan keamanannya.
‘Kedua’, kapasitas Umar Patek sebagai seorang teroris sangat dipertanyakan, sebab bila ia seorang teroris besar dan sangat berbahaya pasti ditangkap sendiri oleh Amerika Serikat. Terbukti, Amerika Serikat selama 9 tahun membiarkan Umar Patek pergi ke mana-mana.
Lainnya halnya seperti dengan Muhammad Saad Iqbal Madni, Hambali, dan Umar Al Faruq. Ketiga orang tersebut diberitakan, sebab dirasa berbahaya bagi Amerika Serikat, maka mereka langsung ditangkap oleh CIA.
Dalam sebuah berita disebutkan, Muhammad Saad Iqbal Madni yang disinyalir anggota Al-Qaida digaruk petugas imigrasi Indonesia pada 9 Januari 2002. Warga Pakistan ini dideportasi, namun setibanya di bandara ia dibawa pesawat dinas CIA entah kemana.
Kemudian, 5 Juni 2002, Umar al-Faruq, warga negara Indonesia yang besar di Kuwait, ditangkap di Bogor, selanjutnya disebut dibawa oleh CIA ke Afghanistan. Nasib serupa juga dirasakan oleh Hambali. Warga negara Indonesia itu ditangkap Thailand, kemudian dibawa pula oleh CIA.
'Ketiga', penangkapan Umar Patek yang berasal dari informasi intelijen Amerika Serikat ('Koran Tempo', 2/4/11) ini sebagai salah satu bentuk untuk menimbulkan ketergantungan intelijen negara lain kepada intelijen Amerika Serikat atau CIA. Sebenarnya CIA mempunyai banyak info-info penting mengenai sepak terjang para teroris.
Meski Amerika Serikat negara paling bersemangat memerangi terorisme, namun dalam menghabisi para teroris, Amerika Serikat melakukan secara tidak serta merta. Ada beberapa langkah yang dilakukan dan disimpan CIA dalam memberikan informasinya kepada intelijen negara lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya tawarnya. Dengan adanya 'terorisphobia', maka banyak negara yang membutuhkan 'lindungan' Amerika Serikat.
Daya tawar ini pula dilakukan agar intelijen negara lain bergantung kepada info-info CIA. Dari sinilah maka kooptasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada negara lain tidak hanya sebatas sumber ekonomi, namun juga sumber-sumber informasi intelijen. Sebenarnya Amerika Serikat bisa menangkap Umar Patek kapan saja dan di mana saja, namun Umar Patek dibiarkan berkelana agar intelijen Australia, Thailand, Indonesia, dan Philiphina penasaran.
Bahkan intelijen Australia, Thailand, Indonesia, dan Philiphina seolah-olah diperlombakan, yaitu siapa yang bisa menangkap Umar Patek mendapat hadiah. Jelas saja intelijen negara-negara itu tidak bisa menangkap Umar Patek sebab kecuali Amerika Serikat mereka tidak memiliki informasi keberadaan Umar Patek. Dari sinilah muncul pertanyaan besar, apakah selama 9 tahun ini keberadaan Umar Patek disembunyakan CIA?
Pertanyaan itu bisa saja dijawab, ya bisa saja disembunyikan CIA, sebab Amerika Serikat meski dengan musuh-musuh besarnya mereka bisa melakukan konspirasi atau bargaining posisi. Konspirasi antara Amerika Serikat dengan musuhnya pernah terjadi, salah satunya, ketika Amerika Serikat hendak mengadakan 'U. S Election 1980'. Di mana rivalitas antara Jimmy Carter dan Ronald Reagan begitu kuat.
Di atas kertas, Jimmy Carter lebih unggul. Untuk mensiasati hal yang demikian, Tim Sukses Reagan yang dipimpin oleh George H. Bush, mencari celah bagaimana selain Reagan bisa unggul dibanding Carter juga mampu memenangi pemilu.
Dengan kelihaian Bush, ia memanfaatkan penyanderaan 52 warga Amerika Serikat di Teheran untuk menaikan pamor Reagan. Akhirnya dengan konspirasinya, Bush mengadakan negoisasi dengan Pemimpin Revolusi Islam Iran Ayatullah Khomeini.
Konspirasi itu berjalan lancar sebab Khomeini kooperatif. Kooperatifnya itu dengan mengirim Perdana Menteri Iran Bani Sadr untuk melakukan negoisasi dengan Bush dan manajer kampanye Reagan lainnya, William Casey (Cassey di masa pemerintahan Reagan diangkat menjadi Direktur CIA), di Paris, Perancis, di sebuah tempat yang dirahasiakan.
Dalam negoisasi disepakati Iran sudi melepas 52 sandera asal ditukar dengan senjata antitank yang hendak dipergunakan untuk berperang melawan Irak. Tidak hanya itu, konspirasi lainnya adalah sandera itu dibebaskan saat Reagan melaksanakan pidato kenegaraan awal menjadi Presiden Amerika Serikat. Dari konspirasi kedua itu, Iran mendapat uang sebesar US$40 juta. Dari konspirasi yang disusun inilah menjadikan seolah-olah Reagan adalah Presiden yang berhasil melindungi rakyatnya dari aksi penyaderaan, sehingga Reagan seolah-olah menjadi pahlawan. Padahal sesungguhnya semuanya 'by design'.
Hubungan diam-diam Amerika Serikat dengan Iran tidak hanya itu saja, ada juga skandal Iran-Contra, yakni penjualan senjata ke Iran di mana keuntungan dari penjualan senjata itu disumbangkan ke pemberontak di Nikaragua. Skandal-skandal konspirasi Iran-Amerika Serikat itu semua berhasil ditutupi karena keterlibatan CIA.
Dari semua fakta itu menunjukan meski Iran dan Amerika Serikat di depan mata saling bermusuhan, namun di belakang mereka bisa melakukan konspirasi atau bargaining dengan tujuan saling menguntungkan ('Dirty War', Angkasa, Edisi Koleksi). Demikian juga halnya seolah-olah Amerika Serikat di depan mata berperang atau memerangi terorisme, padahal bisa jadi di belakang antara Amerika Serikat dan para teroris berkonspirasi.
‘Keempat’, dari rangkaian terorisme yang ada, terorisme ternyata muncul buka karena faktor ketidakadilan Barat pada dunia Islam saja, namun juga karena unsur-unsur dari luar. Unsur-unsur dari luar inilah yang sekarang dominan yang menyebabkan aksi-aksi terorisme, entah skalanya besar atau kecil.
Dengan provokasi dan permaianan intelijen, akhirnya membuat terorisme yang ada menjadi 'by design'. Terorisme yang terjadi diatur sedemikian rupa dengan tujuan untuk memfitnah, mejelekkan salah satu kelompok (saat ini dunia Islam yang distigmakan sebagai kelompok teroris), mengalihkan perhatian, untuk kepentingan politis dan ekonomi.
Kesuksesan Amerika Serikat dalam mem-'by design' terorisme itulah yang membuat negara itu, secara politik semakin menancamkan kekuasaannya di Timur Tengah, sementara secara ekonomi mampu menguasai sumber-sumber minyak di kawasan Timur Tengah.
Entah karena 'by design' atau bukan, terror bom buku mampu mengalihkan perhatian masyarakat Indonesia dari masalah-masalah pokok yang seharusnya diselesaikan, seperti soal pemberantasan korupsi dan 'abused power'.
Ardi WinangunPenulis Pernah Bekerja di Civil-Militery Relations Studies (Vilters) dan Peminat Studi Pertahanan
Sumber: detik.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment