Tuesday, May 3, 2011

Keadilan Rasulullah Terhadap Non-Muslim

Keadilan Rasulullah Terhadap Non-Muslim
Ilustrasi
 
 
Oleh: Harun Yahya*

Dalam Al Qur'an, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berlaku adil. "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran..." (QS An-Nisaa':135)

Dengan aturan yang beliau terapkan pada umat Islam, keadilan dan toleransinya terhadap orang-orang yang berbeda agama, bahasa, ras, suku, dan sikap beliau yang tidak membedakan antara kaya dan miskin namun memperlakukan semua orang sama. Rasulullah Saw adalah teladan terbaik bagi seluruh umat manusia.

Dalam sebuah ayat Al-Qur'an Allah berfirman kepada Rasulullah, "Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil." (QS Al-Ma'idah :42)

Nabi Saw mematuhi perintah Allah, bahkan terhadap orang yang keras kepala macam mereka (Yahudi), dan beliau tidak pernah membuat konsesi dalam menegakkan keadilan. Beliau menjadi teladan sepanjang masa dengan kata-kata, "Tuhanku menyuruh menjalankan (menegakkan) keadilan." (QS Al-A'raf: 29)

Sejumlah insiden membuktikan keadilan Nabi. Beliau hidup di tempat mana orang-orang yang berbeda agama, bahasa, ras, dan suku hidup berdampingan. Sangat sulit bagi mereka untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni serta mengawasi mereka yang berusaha menyebarkan perpecahan. Satu kelompok bisa menjadi agresif dan bahkan menyerang kelompok lain melalui kata-kata atau perbuatan. Namun, keadilan Nabi Saw adalah sumber perdamaian dan keamanan bagi komunitas lain, sama seperti yang berlaku bagi umat Islam.

Selama masa Nabi Muhammad Saw, kaum Kristen, Yahudi, dan orang-orang kafir semua diperlakukan sama. Rasulullah berpegang pada ayat, "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)," (QS Al-Baqarah: 256), dan menjelaskan agama yang benar untuk semua orang, namun membebaskan mereka untuk membuat menetapkan pilihan sendiri.

Sikap mulia Nabi Saw secara total selaras dengan moralitas Al-Qur'an, hendaknya dijadikan teladan dalam memperlakukan penganut agama-agama yang berbeda. Keadilan Nabi memberikan pemahaman kepada orang-orang dari ras yang berbeda. Dalam khutbah-khutbahnya, beliau kerap menyatakan bahwa keunggulan tidak terletak pada ras, tetapi dalam kesalehan. Sebagaimana Allah menyatakan dalam Al-Qur'an, "...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu..." (QS Al-Hujuraat: 13)

Dua hadits menegaskan prinsip keadilan beliau: "Kamu adalah anak-anak Adam, dan Adam berasal dari debu. Hendaknya orang-orang berhenti membangga-banggakan nenek moyang mereka "(HR Abu Dawud).

"Sesungguhnya nasab-nasabmu ini bukan menjadi sebab kamu boleh mencaci kepada seseorang; kamu semua adalah anak-cucu Adam... Tidak ada seorangpun yang melebihi orang lain, melainkan karena agama dan takwanya..." (HR Ahmad)

Dalam Khutbah Wada' (khutbah perpisahan) Rasulullah menegaskan beberapa prinsip, "Hai ummat manusia! Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah satu. Ingatlah! Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang lain Arab; tidak pula ada kelebihan bagi orang selain Arab atas orang Arab; tidak juga ada kelebihan orang yang berkulit merah atas orang kulit hitam; dan tidak pula orang kulit hitam atas orang kulit merah, melainkan lantaran takwa. Sebab sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah yang paling bertakwa kepada Allah." (HR Baihaqi)

Perjanjian yang dibuat dengan orang-orang Kristen Najran di selatan Semenanjung Arab adalah contoh teladan lain keadilan Nabi Saw. Salah satu pasal dalam perjanjian itu berbunyi, "Kehidupan masyarakat Najran dan sekitarnya, agama mereka, tanah mereka, harta, ternak, dan orang-orang mereka yang hadir atau tidak, rasul mereka dan tempat-tempat ibadah mereka berada di bawah perlindungan Allah dan perwalian Nabi-Nya (Muhammad)."

Piagam Madinah, ditandatangani oleh para imigran Muslim dari Makkah, penduduk asli Madinah, dan kaum Yahudi Madinah adalah contoh lain pentingnya keadilan Rasulullah. Sebagai hasil konstitusi, yang menetapkan keadilan antara masyarakat dengan keyakinan berbeda dan memastikan perlindungan dari berbagai kepentingan mereka, dan mengakhiri permusuhan yang terjadi selama bertahun-tahun. Salah satu keistimewaan yang paling luar biasa dari perjanjian ini adalah dikokohkannya kebebasan beragama.

Salah satu pasal Piagam Madinah menyebutkan, "Orang-orang Yahudi Bani `Auf merupakan satu bangsa dengan umat Islam. Orang Yahudi memiliki agama mereka dan Muslim memiliki mereka."

Pasal 16 dari perjanjian tersebut berbunyi, "Orang Yahudi yang mengikuti kami dipastikan berhak atas dukungan kami dan persamaan hak yang sama seperti salah satu dari kami. Ia tidak akan dirugikan atau musuhnya tidak akan dibantu."

Para sahabat Rasulullah tetap berpegang pada Piagam Madinah tersebut, bahkan setelah beliau wafat. Dan mereka bahkan menerapkannya dengan orang-orang Barbar, Buddha, Brahmana, dan orang-orang dari keyakinan lain.

Salah satu alasan utama mengapa zaman keemasan Islam merupakan salah satu masa yang dinaungi perdamaian dan keamanan adalah sikap Nabi yang adil, dan itu merupakan cerminan moralitas Al-Qur'an.

Oleh sebab itu, satu-satunya solusi untuk menghentikan pertempuran dan konflik yang terjadi di seluruh dunia adalah dengan mengadopsi moralitas Al-Qur'an. Sebagaimana Rasulullah Saw, beliau tidak pernah menghindar dari jalan keadilan, dan beliau tidak pernah membeda-bedakan manusia berdasarkan agama, bahasa, atau ras.


* Harun Yahya lahir di Ankara pada 1956. Ia belajar seni rupa di Istanbul's Mimar Sinan University dan filsafat di Istanbul University. Sejak 1980-an, ia telah menerbitkan banyak buku tentang politik, tauhid, dan sains ilmiah.

Sumber: www.republika.co.id

No comments:

Post a Comment