Monday, May 2, 2011

Lebih Menyedihkan dari Laskar Pelangi

1304316698716895981
Anak-anak Tubeket

Oleh: sunaryo adhiatmoko


Cerita Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, jika dibaca orang yang hidup dalam peradaban lebih maju, rasanya seperti sejarah masa lalu. Sebagian kita bahkan ada yang ragu, sungguhnya cerita itu benar-benar terjadi di abad masa kini? Jika kotak berpikir kita ada di zona mapan, boleh jadi keraguan itu ada. Tapi, jika badan dan pikiran kita menyeruak ke sudut-sudut Indonesia, cerita Laskar Pelangi itu bestari hingga kini. Ia nyata, mewakili pergulatan anak manusia yang ingin sekadar bisa membaca.

Tubeket, dusun kecil di Pagai Selatan, Mentawai, menyuguhkan kisah yang lebih pilu dari Ikal yang kini menjelma jadi generasi luar biasa. Anak-anak Tubeket, mulai mengeja abjad sejak pagi, di dusunnya yang dikepung laut. Sekolah tua yang nyaris rubuh jadi ruang belajar. Satu ruang kelas diisi kelas satu, dua dan tiga sekaligus. Hanya meja dan bangku yang jadi pembatasnya.

Di ruang yang tak begitu luas, satu guru mengajar kelas satu sampai tiga, karena tiga angkatan itu duduk dalam satu ruang. Sejak Indonesia merdeka, baru pada 1997, di Tubeket ada sekolah setara SD. Masyarakat secara swadaya mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS). Dulu dipelopori oleh seorang Dai bernama Firman. 

Bertahun-tahun, Firman mengabdikan diri untuk anak-anak Tubeket agar bisa sekolah. Kini, pengabdian itu dilajutkan pasangan suami istri Ramlis dan Semarti. Ramlis hanya lulus SD, sementara istrinya lulus SMP. Tapi, keduanyalah yang memang terpanggil dan layak untuk mengajar di sekolah Tubeket. Tanda bakti murid pada guru, kadang diwujudkan dengan mengirim hasil ladang. Tak ada gaji memadai. Ramlis pun, di sela mengajar kadang menjadi operator perahu kecil bermesin tempel.

Cerita anak Tubeket masih berlanjut lebih menggetarkan. Keterbatasan guru, membuat MIS Tubeket hanya untuk kelas satu sampai tiga. Untuk melanjutkan kelas empat hingga lulus SD, anak-anak harus ke kecamatan Sikakap. Menuju Sikakap tak mudah. Anak-anak naik perahu tempel, selama satu jam. Perjalanan ini tak mungkin ditempuh tiap hari. Jangan pula dibayangkan, tiap hari ada perahu yang menuju Sikakap. Cuaca ekstrim, ombak tinggi, dan mahalnya bahan bakar minyak, juga faktor lain yang tak kalah sulitnya.

Di Sikakap, anak-anak Tubeket yang melanjutkan kelas empat sampai enam ditampung di asrama sederhana. Sebuah ruang 4 x 6 m, jadi ruang asrama anak-anak Tubeket. Mereka anak laki dan perempuan, campur jadi satu ruang dibatasi tikar alas tidur. Untuk pulang ke kampungnya di Tubeket, belum tentu sebulan sekali. Biasanya, orang tua mengirim bekal, beras, mie instant, dan ikan asin.
Anak-anak Tubeket, tak hanya hidup di atas cadas kehidupan yang keras. Mereka juga berpijak di atas pulau kecil yang rawan gempa dan ancaman tsunami. Gempa dan tsunami yang terjadi akhir tahun lalu, realita yang selalu mengintai mereka. Kita bertanya, siapa sesungguhnya yang harus bertanggungjawab pada masa depan dan peradaban mereka? Kitap UUD 45 mengamanahkan pada Negara. Tapi, sejak merdeka, baru 1997 di Tubeket ada sekolah, itupun atas inisiatif masyarakat.

Banyak yang harus diurus bangsa ini, dari sekadar kuras energi debat kekuasaan. Negara harus malu, melihat masyarakat yang tanpa peran penguasa sekalipun, dapat bangkit mandiri. Wakil rakyat juga harus tunduk kepala, karena tak berdaya menyuarakan nada nurani rakyat. Kita tidak sedang menggaji Kakatua yang berkicau. Tapi, pajak rakyat untuk menggaji para pemimpin yang punya nurani dan harga diri.
Mari belajar malu pada anak-anak Tubeket. Mereka, generasi yang terlupakan oleh kekuasaan. Wallahu’alam.

Sumber: kompasiana.com

No comments:

Post a Comment